Usaha tidak akan mengkhinati hasil.
Itulah kata yang cocok untuk menggambarkan Aep Suherman (50), peternak sapi perah yang sukses di Desa Sukawana, Kecamatan Pangelangan, Kabupaten Bandung.
Aep memiliki pengalaman inspiratif yang mungkin patut dicontoh peternak lain, terutama generasi muda saat ini yang masih mempersoalkan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan.
Aep yang memulai menjadi peternak sapi perah pada tahun 1990 bermodalkan dua ekor sapi peninggalan orang tuanya.
Kini, ia dapat berbangga diri setelah menjalankan usahanya dengan tekun, kerja keras, dan ikhlas.
Ia telah memiliki 20 ekor sapi perah yang mampu menghasilkan rata-rata 13-14 liter/sapi/perhari.
Jika dikalkulasikan harga per liter susu sapi yang dibeli koperasi susu dari peternak seharga Rp. 4.500, Aep bisa meraup keuntungan Rp 1.170.000 per hari atau Rp. 35.100.000 per bulan dari susu yang dihasilkan 20 ekor sapi perah miliknya.
Nilai keuntungan yang menggiurkan itu mengalahkan penghasilan relatif dari seorang karyawan kantoran per bulan.
Keberhasilan Aep tentu tidaklah dilalui dengan cara yang mudah melainkan penuh dengan rintangan.
Semasa mudanya, Aep yang merupakan seorang anak dari orangtua yang juga peternak sapi perah.
Ia sempat enggan meneruskan usaha orangtuanya karena menilai menjadi peternak sapi perah tak akan memberikan keuntungan ekonomi secara signifikan.
Menjadi peternak juga dituntut untuk bekerja keras tidak mengenal lelah dan waktu.
Karena itu, ia pun mencoba peruntungan lainnya dengan mencoba berbagai pekerjaan serabutan, mulai dari kondektur angkutan umum, hingga menjadi tukang ojek di wilayahnya.
Semua itu dilaluinya hingga akhirnya ia melihat kedua orang tuanya sudah sangat kepayahan dalam mengurusi ternak-ternak sapinya.
Bahkan, orangtuanya kerapkali jatuh sakit dan berencana melepas semua ternaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Melihat kondisi itu, Aep pun tergerak untuk meneruskan pekerjaan kedua orangtuanya apalagi ia merupakan anak laki-laki paling besar di keluarganya.
Ia mulai diberikan modal awal dua ekor sapi perah betina oleh orang tuanya yang kemudian berkembang menjadi enam ekor sapi yang masing-masing produksi susu hanya berkisar 7-8 liter per hari.
Tiga kali sehari, Aep sendirian harus mencari rumput segar di lahan terbuka, kebun atau bahkan hutan yang berjarak 1,5 - 2 km dari rumahnya.
Rumput-rumput itu ia angkut menggunakan sepeda motor. Kadang-kadang, ia menumpang kepada kendaraan lain yang melintas di sekitar tempatnya mencari pakan apabila jumlah pakan yang dibutuhkan sangatlah banyak.
Setiap hari Aep harus mulai mencari pakan ternaknya sejak subuh dan pulang pada siang hari.
Menurutnya, saat subuh rumput memiliki kualitas rumput yang masih segar.
Perjuangannya tersebut, hingga kini masih ia lakukan, seiring terus bertambahnya jumlah ternaknya, saat sapi perahnya berjumlah hingga 20 ekor.
Kini, ia pun membutuhkan sedikitnya 40 kilogram rumput setiap hari. Namun, ia tak lagi sendirian menjadi rumput tapi dibantu putra, Andri (22).
"Kalau sekarang biasanya suka bareng-bareng sama peternak lain nyari hijauannya (pakan rumput) atau juga bapak dibantu sama Andri," ujar Aep yang merupakan peternak binaan Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) kepada Tribun di Desa Sukawana, Kecamatan Pangelangan, Kabupaten Bandung, Kamis (7/9/2017).
Kisah pilu sempat dialami Aep pada sekitar tahun 2009. Kala itu, ia hampir putus asa karena salah memberi pakan bagi 13 ekor sapi.
Karena sulitnya mencari lahan rumput dan mahalnya harga konsentrat, ia mencoba memberikan sekam padi sebagai nutrisi tambahan bagi sapi perah.
Harga sekam padi jauh lebih ekonomis, sekitar Rp 1000 per kilogram. Gara-garaa itu, lambat laut yang terjadi adalah beberapa ternaknya justru sakit, lemas, bahkan tidak mampu berdiri.
Ia khawatir dan segera menghubungi dokter hewan untuk mengobati sapi-sapinya tersebut.
"Bapak mah udah pasrah waktu itu, cuma dukungan dari keluarga untuk jangan nyerah, ditambah usaha dan doa, akhirnya semuanya normal lagi. Bapak enggak mau coba-coba lagi ngasih pakan sampai sekarang," ucapnya.
Sejak itu, Aep lebih memperhatikan kondisi dari para hewan ternaknya, mulai dari faktor kesehatan, kondisi kandang, dan manajemen pakan.
Karena kegigihan dan konsistensinya dalam pemeliharaan ternak, ia terpilih menjadi kandidat dan menjadi juara dalam program Farmer2Farmer yang diselenggarakan oleh produsen susu, Frisian Flag Indonesia.
"Waktu itu dapat undangan untuk mengikuti program Farmer2Farmer, terus terpilih di bulan April 2016 untuk mendapatkan pelatihan langsung dari peternak Belanda, Mr Minne Hoftman," ujar Aep.
Pelatihan selama satu bulan itu mengenai cara mengurus sapi perah yang baik dan benar.
"Terus diterapkan ilmunya seperti pemberian pakan, waktu pemerasan susu sapi, pembuatan silase, sampai pemeliharaan pedet (anak sapi) dan Alhamdulillah 2017 ini bapak terpilih jadi juara dari program itu," katanya.
Berdasarkan pantauan Tribun, kondisi di kandang sapi Aep tergolong cukup bersih, dengan ukuran sekitar 6x5 meter yang diisi oleh 8 ekor sapi per kandang.
Sapi-sapi perah itu pun leluasa bergerak.
Di lokasi yang sama, Ketua umum KPBS, Aun Gunawan mengatakan terkait produksi susu, KPBS kini menghasilkan 80 ton/hari.
Capaian ini pun diakuinya sejak kebangkitan beberapa waktu lalu. Sebab, pada 2013-2015 kapasitas produksi ini hanya mencapai 60 ton/hari saja.
Kualitas susu yang dihasilkan anggota KPBS pun kini mulai merangkak naik dan memiliki kualitas baik. Saat ini KPBS membeli susu dari peternak rata-rata dengan harga sekitar Rp4.500-4.600/liter.
"Susu dari peternak itu langsung kita dinginkan dengan suhu 4 derajat celsius. Fresh milk itu kami kirim ke beberapa industri produsen susu, seperti Frisian Flag, Ultrajaya, dan Indomilk. Dari 80 ton kapasitas susu itu, 65 ton dikirim ke industri dan 15 ton kita olah sendiri menjadi produk turunan susu seperti yoghurt, keju mozzarella, dan whip cream," ujarnya. (*)
Source: jabar.tribunnews.com